Sabtu, 14 Januari 2012

KARYA TULIS ILMIAH DEAZY

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kehidupan manusia selalu berisiko mengalamai luka. Luka yang terjadi dapat diakibatkan dari tindakan kesengajaan seperti operasi bedah dan dapat juga diakibatkan dari tindakan yang tidak sengaja atau disebut juga sebagai kecelakaan. Kecelakaan yang menyebabkan luka dapat berupa luka gigit, luka lecet, luka iris, luka memar, dan luka bakar. Luka adalah suatu cedera pada kulit yang menyebabkan keutuhan jaringan terputus sebagian atau seluruhnya. Keadaan luka dapat disebabkan oleh trauma benda tajam dan tumpul, perubahan suhu, zat kimia, ledakan, sengatan listrik atau gigitan hewan (Sjamauhidajat dan Win de Jong, 2004).
Penyembuhan luka terkait dengan regenerasi sel sampai fungsi organ tubuh kembali pulih. Idealnya luka yang sembuh kembali normal secara struktur anatomi, fungsi dan penampilan. Perawatan luka dimulai dengan mendiagnosa apakah luka tersebut bersih, atau apakah ada tanda klinik yang memperlihatkan masalah infeksi. Infeksi luka sering berakibat tidak fatal, tetapi dapat menimbulkan cacat pada kulit. Penanganan luka yang tepat dan cepat dapat mencegah jaringan kulit yang terluka dari risiko infeksi. Infeksi mikroorganisme dapat terjadi pada area luka, karena penularan mikroorganisme didasarkan pada tindakan semua orang yang berhubungan dengan sentuhan dan udara, serta melalui benda hidup atau benda mati yang telah terkontaminasi. Faktor lain yang mendasari terinfeksinya luka pada kulit, karena tubuh manusia merupakan sumber infeksi, seperti contoh pada orang dewasa diperkirakan mengandung lebih dari 25.000 mikroorganisme per cm persegi kulit, 250 milyar mikroorganisme di dalam mulut mereka, dan 2,5 trilyun di kolon bagian bawah (Barbara dan Billie).
Tindakan pertama yang harus diperhatikan pada pencegahan infeksi terhadap luka adalah keadaan aseptis, yaitu dengan menggunakan obat yang berkhasiat sebagai antiseptik. Antiseptik adalah obat yang digunakan untuk membunuh pertumbuhan mikroorganisme, biasanya digunakan pada jaringan kulit (Gunawan, 2007). Syarat suatu sediaan antiseptik yaitu dapat digunakan untuk menghilangkan mikroorganisme tanpa menyebabkan rusaknya atau teriritasinya kulit atau selaput lendir. Banyak bahan kimia yang memenuhi syarat sebagai antiseptik. Berdasarkan sifat kimia, antiseptik digolongkan dalam golongan fenol, alkohol, aldehid asam, halogen, peroksidan dan logam berat ( Tjay dan Raharjadja, 2007).
Tinctura iodium merupakan salah satu antiseptik kulit tertua yang pernah digunakan, tetapi mempunyai efek samping yang dapat mengiritasi kulit dan memiliki insiden alergi yang cukup tinggi. Penggunaan iodium mulai populer kembali pada dasawarsa terakhir, dengan dibuktikannya bahwa iodium dapat mengikat komponen polivinilpirolidin untuk mendapat aksi antibakteri yang baik. Kompleks iodofor yang terbentuk memiliki frekuensi reaksi alergi dari tinctura iodium yang rendah, sehingga apabila lapisan iodofor tetap dibiarkan pada kulit, pengeluaran iodium yang lambat tetap berlangsung untuk beberapa jam (Sabiston, 1995). Kompleks dari iodium dengan polivinilpirolidon membentuk zat aktif povidon iodine yang sering digunakan oleh masyarakat sampai saat ini pada terapi obat luka dan berkhasiat sebagai antiseptik. Sediaan obat cair dengan zak aktif povidon iodine banyak beredar di pasaran, seperti di apotek, toko obat maupun swalayan. Kadar povidon iodine yang terdapat pada sediaan tersebut yang sering digunakan sebagai antiseptik adalah 10%.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka penulis tertarik ingin meneliti tentang “Penetapan Kadar Povidon Iodine Dari Sediaan Obat Luka Cair Dengan Metode Iodometri”.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang menjadi perumusan masalah dalam pengujian ini adalah apakah kadar povidon iodine yang terkandung dalam sediaan obat luka cair yang beredar di pasaran sesuai dengan persyaratan Farmakope Indonesia edisi IV (1995) yaitu mengandung tidak kurang dari 85% dan tidak lebih dari 120% Iodum dari jumlah yang tertera pada etiket sediaan.

1.3. Tujuan
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui kadar povidon iodine yang terkandung dalam sediaan obat luka cair yang beredar di pasaran memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia edisi IV (1995) yaitu mengandung tidak kurang dari 85% dan tidak lebih dari 120% Iodum dari jumlah yang tertera pada etiket sediaan.

1.4. Manfaat Pengujian
Manfaat dilakukan pengujian kadar povidon iodine ini diharapkan:
1. Dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan bagi penulis tentang pengujian kadar dengan menggunakan metode iodometri.
2. Dapat meningkatkan ilmu pengetahauan yang sudah dipelajari selama masa pendidikan bagi mahasiswa Farmasi Poltekkes Kemenkes Aceh.
3. Sebagai bahan referensi tambahan bagi perpustakaan Poltekkes Kemenkes Aceh.
4. Dapat mengetahui kadar Povididone Iodine yang terkandung dalam sediaan obat luka cair yang beredar di masyarakat.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Povidon Iodine
n . x I
Polimer 1-vinil-2-pirolidon,
bersenyawa dengan iodium
(C6H9NO)n . xI
Gambar 1. Rumus Struktur Povidon Iodine

2.1.1. Pengertian Povidon Iodine
Povidon Iodine adalah suatu iodofor dari pembentukan kompleks antara iodium dengan polivinilpirolidon (Gunawan, 2007). Polivinilpirolidon berperan sebagai pembawa molekul memiliki berat molekul rata-rata lebih kurang 40.000 (Ansel, 1989). Menurut Farmakope edisi IV (1995) larutan povidon iodine mengandung tidak kurang dari 85% dan tidak lebih dari 120% Iodum dari jumlah yang tertera pada etiket, serta dapat mengandung sedikit etanol. Kandungan etanol (jika ada) antara 90% dan 110% dari jumlah yang tertera pada etiket.

2.1.2. Sejarah Penggunaan Povidon Iodine
Tinctura iodium merupakan salah satu antiseptik kulit tertua yang pernah digunakan, tetapi mempunyai efek samping yang dapat mengiritasi kulit dan memiliki insiden alergi yang cukup tinggi. Penggunaan iodium mulai populer kembali pada dasawarsa terakhir, dengan dibuktikannya bahwa iodium dapat mengikat komponen polivinilpirolidin untuk mendapat aksi antibakteri yang baik. Kompleks iodofor yang terbentuk memiliki frekuensi reaksi alergi dari tinctura iodium yang rendah, sehingga apabila lapisan iodofor tetap dibiarkan pada kulit, pengeluaran iodium yang lambat tetap berlangsung untuk beberapa jam (Sabiston, 1995).

2.1.3. Sifat Povidon Iodine
Larut dalam air dan larutan etanol (95%) P, praktis tidak larut dalam kloroform , dalam eter P, dalam karbontetraklorida P, dalam aseton P dan dalam heksana P. Larutan povidon iodum mempunyai pH antara 1,5 dan 6,5 (Depkes, 1979).

2.1.4. Farmakodinamik dan Farmakokinetik dari Povidon Iodine
Povidon-iodine berangsur-angsur melepaskan iodium yang akan berkerja sebagai antiseptik yang berspektrum luas (Gunawan, 2007). Zat aktif ini bersifat bakteriostatik dengan kadar 640 μg/ml dan bersifat bakterisid pada kadar 960 μg/ml. Mycobacterium tuberculosis bersifat resisten terhadap bahan ini. Povidon iodine memiliki toksisitas rendah pada jaringan, tetapi detergen dalam larutan pembersihnya dapat meningkatkan toksisitasnya. Povidon iodine 10% mengandung 1% iodium yang mampu membunuh bakteri dalam 1 menit dan membunuh spora dalam waktu 15 menit (Rahardjo, 2008).
Mekanisme kerja povidon iodine dimulai setelah kontak langsung dengan jaringan maka elemen iodine akan dilepaskan secara perlahan-lahan dengan aktifitas menghambat metabolisme enzim bakteri sehingga mengganggu multiplikasi bakteri yang mengakibatkan bakteri menjadi lemah. Iodine dalam jumlah kecil diserap masuk ke dalam aliran darah, sehingga menyebabkan efek sistemik dengan akibat shock dan anoksia jaringan. Penggunaan iodine harus dengan diencerkan terlebih dahulu, hal ini karena iodine dalam konsentrasi tinggi dapat menyebabkan iritasi kulit. Penggunaan iodine yang berlebihan dapat menghambat proses granulasi luka. Povidon iodine yang biasanya digunakan dalam perawatan luka hanya 10%. Hasil suatu penelitian menyatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi iodine yang digunakan semakin mempercepat fase penyembuhan luka.




2.1.5. Kegunaan dari Povidon Iodine
Povidone iodine merupakan agen antimikroba yang efektif dalam desinfeksi dan pembersihan kulit baik pra- maupun pascaoperasi, dalam penatalaksanaan luka traumatik yang kotor pada pasien rawat jalan dan untuk mengurangi sepsis luka pada luka bakar (Morison, 2003).
Menurut Dr. Henny Lukmanto (1986) zat aktif povidon iodine mempunyai indikasi sebagai berikut:
Untuk mensuci hamakan kulit, selaput lendir (termasuk vagina) pada operasi dan suntik.
Untuk membunuh kuman agar mencegah infeksi dan mempercepat penyembuhan luka (pada sebelum dan sesudah operasi).
Untuk mengompres luka-luka yang terinfeksi atau nanah.
Untuk pengobatan pertama pada kecelakaan darurat terhadap luka, lecet maupun luka koyak.
Untuk mencegah infeksi dan penularan di rumah sakit atau praktek dokter.
Untuk mencegah infeksi pada kulit karena jamur dan kuman-kuman.
Untuk mengobati luka bakar derajat I, II dan III.
Tindakan pre operatif dan post operatif.
Manfaat povidon iodine berdasarkan kadarnya, yaitu:
Povidon iodine 10% untuk mengobati bermacam-macam luka.
Povidon iodine 7,5% sebagai sabun cair antiseptik untuk mandi, gatal-gatal di kulit, membersihkan kulit dan tangan sebelum melakukan operasai, membersihkan kulit yang akan dioperasi.
Povidon iodine 1% mempunyai indikasi untuk peradangan dan infeksi mulut, tenggorokan, gigi, gusi lidah sariawan, pencegahan infeksi pada pembedahan luka dan pencabutan gigi.
(ISFI, 2009)
2.1.6. Efek Samping dari Penggunaan Povidon Iodine
Povidon Iodine harus hati-hati bila digunakan pada permukaan kulit rusak yang luas (misalnya luka bakar), karena iodium dapat diresorpsi dan meningkatkan kadarnya dalam serum sehingga dapat menimbulkan asidosis, neutropenia dan hipotirosis (Tjay dan Raharjadja, 2007). Toksisitas dari povidon iodine dapat terjadi apabila zat ini masuk ke traktus gastro intestinal yang menyebabkan korosif.

2.1.7. Keuntungan dan Kerugian Penggunaan Povidon Iodine
Keuntungan dari zat aktif povidone iodine sebagai antiseptik yaitu tidak merangsang, mudah dicuci karena larut dalam air dan stabil karena tidak menguap. Penggunannya yang berulang kali akan mengendap sehingga efeknya bertahan lama (Tjay dan Raharjadja, 2007). Keuntungan lainnya yaitu povidon iodine akan tetap aktif pada luka yang terdapat darah, nanah, serum dan jaringan neukrotik (Lukmanto, 1986). Warna coklat dan baunya merupakan sifat obat ini yang kurang menguntungkan (Gunawan, 2007).

2.2. Antiseptik
2.2.1. Pengertian Antiseptik
Antiseptik adalah zat-zat yang membunuh atau mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Istilah ini terutama digunakan untuk sediaan yang dipakai pada jaringan hidup (Rahardjo, 2008). Antiseptik ialah obat yang dapat meniadakan atau mencegah keadaan sepsis (Gunawan, 2007). Kata antiseptik berasal dari bahasa yunani, yaitu sepsis = busuk (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.2.2. Sifat-sifat Antiseptik
Sifat antiseptik yang ideal adalah:
Efektivitas germisid tinggi.
Bersifat letal terhadap mikroorganisme.
Kerjanya cepat dan tahan lama.
Spektrum sempit terhadap infeksi mikroorganisme yang sensitif.
Tegangan permukaan yang rendah untuk pemakaian topikal.
Indeks terapi tinggi.
Tidak memberikan efek sistemik bila diberikan secara topikal.
Tidak merangsang terjadinya alergi.
Tidak diabsorpsi.
(Rahardjo, 2008)
Menurut Morison (2003) menyatakan karakteristik antiseptik yang ideal adalah:
Membunuh mikroorganisme.
Tetap efektif terhadap berbagai macam pengenceran.
Non-toksik terhadap jaringan tubuh manusia.
Tidak mudah menimbulkan reaksi sensitivitas, baik lokal maupun sistemik.
Bereaksi secara cepat.
Bekerja secara efisien, meski terdapat bahan-bahan organik.
Tidak mahal.

2.2.3. Penggunaan Antiseptik
Tujuan penggunaan antiseptika pada kulit adalah untuk membasmi mikroorganisme yang kebetulan berada di permukaan kulit, tetapi tidak memperbanyak diri di tempat itu dan pada umumnya akan mati sendiri (transient flora). Penggunaan yang lebih penting adalah untuk membasmi resident flora, yakni jasad-jasad renik yang merupakan penghuni alamiah di kulit dan terutama terdiri dari mikrokok pathogen, seperti Staphylococus epidermis, Corynebacteria, Propionibacteri dan kadang-kadang Staphylococus aureus. Flora permanen ini terdapat pada lokasi yang lebih dalam dan lebih sukar dihilangkan daripada flora transien (Tjay dan Rahardja, 2007).
Antiseptika dapat bersifat toksik bagi jaringan, menghambat penyembuhan luka dan menimbulkan sensitasi. Antiseptika juga sukar mendifusi ke dalam kulit, karena terendap oleh protein dan khasiatnya sering kali ditiadakan atau dikurangi oleh cairan tubuh. Beberapa zat tidak tepat digunakan pada luka yang terbuka, karena bersifat toksik dan merangsang bagi sel (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.2.4. Khasiat Antiseptik
Pada umumnya desinfektansia memiliki khasiat bakterisid dengan spektrum kerja luas, yang meliputi bakteri Gram-positif dan Gram-negatif, virus dan fungi. Banyak faktor yang mempengaruhi khasiat antiseptik, yaitu sebagai berikut:
Spektrum kerja.
Konsentrasi.
Kebersihan permukaan yang akan didesinfeksi.
Waktu exposure.
pH dan suhu.
Zat pelarut.
(Tjay dan Rahardja, 2007)

2.2.5. Mekanisme Kerja Antiseptik
Desinfektansia bekerja berdasarkan berbagai proses kimiawi atau fisika dengan tujuan guna meniadakan risiko transmisi dari jasad renik. Prose-proses adalah:
Denaturasi protein mikroorganisme.
Pengendapan protein dalam protoplasma.
Oksidasi protein.
Mengganggu sistem dan proses enzim.
Modifikasi dinding sel atau membran sitoplasma.
(Tjay dan Rahardja, 2007)

2.2.6. Penggolongan
Desinfektansia dapat digolongkan dalam beberapa kelompok, yaitu:
Senyawa halogen: povidon iod, iodoform, Ca-hipoklorit, Na-hipoklorit, tosilkloramida, klorheksidin, kliokinol, heksaklorofen, triklokarben, klorksilenol dan triklosan.
Derivat fenol: fenol, kresol, resorsinol dan timol.
Zat-zat dengan aktivitas permukaan: cetrimida, cetylpiridinium, benzalkonium dan dequalinium.
Senyawa alkohol, aldehid dan asam: etanol, dan isopropanol, formaldehid dan glutaral, asam asetat dan borat.
Senyawa logam: merkuri klorida, fenil-merkunitrat dan merbromin, perak nitrat dan silverdiazin, seng oksida.
Oksidansia: hidrogen peroksida, seng peroksida, Na-perborat, kalium permanganat dan kalium klorat.

Lainnya: heksetidin dan heksamidin, nitrofural, belerang, ichtammon, etilenoksida, oksikinolin (superol) dan acriflavin
(Tjay dan Rahardja, 2007)

2.3. Analisa Kuantitatif
2.3.1. Pengertian
Analisa kuantitatif berkaitan dengan penetapan berapa banyak suatu zat tertentu yang terkandung dalam suatu sampel. Zat yang ditetapkan tersebut sering kali dinyatakan sebagai konstituen atau analit, menyusun sebagian kecil atau sebagian besar sampel yang dianalisis (Day and Underwood, 1999). Jumlah banyak sedikitnya sampel, serta jumlah relatif konstituen penyusun sampel adalah karakteristik penting metode analisis kuantitatif. Metode-metode ini dapat diklasifikasikan sebagai makro, semimikro dan mikro tergantung pada banyak sedikitnya sampel. Suatu sampel makro adalah sampel yang beratnya lebih besar dari 0,100 g, semimikro antara 0,100–0,010 g, sedangkan yang kurang dari 0,010 g adalah sampel mikro. Umumnya, sampel antara 0,01-0,001 g disebut sampel mikro, sedangkan yang kurang dari 0,001 g disebut sampel submikro atau sampel ultramikro (1µg=〖10〗^(-6) g ) (Khopkar, 2003). Suatu zat atau analit yang dianalisa menyusun lebih dari sekitar 1% dari sampel, maka analit ini dianggap sebagai konstituen utama. Zat itu dianggap konstituen minor jika jumlahnya berkisar antara 0,01% hingga 1% dari sampel dan jika zat itu kurang dari 0,01% dianggap sebagai konstituen perunut (Day and Underwood, 1999).

2.3.1 Analisis Titrimetri
Istilah analisis titrimetri mengacu pada analisis kimia kuantitatif yang dilakukan dengan menetapkan volume suatu larutan yang konsentrasinya diketahui dengan tepat, yang diperlukan untuk bereaksi secara kuantitatif dengan larutan dari zat yang akan ditetapkan. Larutan dengan konsentrasi yangt diketahui tepat itu, disebut larutan standar. Bobot zat yang hendak ditetapkan, dihitung dari volume larutan standar yang digunakan dan hukum-hukum stoikiometri yang diketahui (Basset, 1994).
Larutan standar biasanya ditambahkan dari dalam sebuah buret. Proses penambahan larutan standar sampai reaksi tepat lengkap, disebut titrasi, dan zat yang akan ditetapkan, dititrasi. Titik disaat reaksi itu tepat lengkap, disebut titik ekuivalen (setara) atau titik-akhir teoritis (titik akhir stoikiometri). Lengkapnya titrasi harus terdeteksi oleh suatu perubahan, yang tak akan salah dilihat oleh mata, yang dihasilkan oleh larutan standar itu sendiri, atau lebih lazimnya lagi, oleh penambahan suatu reagensia pembantu yang dikenal sebagai indikator. Setelah reaksi antara zat dan larutan standar praktis lengkap, indikator harus memberi perubahan yang terlihat jelas (suatu perubahan warna atau pembentukan keruhan) dalam cairan yang sedang dititrasi. Indikator dan kondisi-kondisi eksperimen harus dipilih sedemikian, sehingga perbedaan antara titik akhir terlihat dan titik ekuivalen, adalah sekecil mungkin (Basset, 1999).
Analisis volumetri tidak pernah digunakan lagi, tetapi sekarang telah menggunakan analisis titrimetri, karena analisis titrimetri dianggap lebih baik dalam menunjukkan hasil proses titrasi, sedangkan analisis volumetri dapat dikacaukan dengan pengukuran-pengukuran volume, seperti yang melibatkan gas-gas. Reagensia dengan konsentrasi yang diketahui itu, disebut titran dan zat yang sedang dititrasi disebut titrand (Basset, 1999).
Syarat yang digunakan dalam analisis titrimetri, suatu reaksi harus memenuhi kondisi-kondisi berikut:
Harus ada suatu reaksi sederhana, yang dapat dinyatakan dengan suatu persamaan kimia, zat yang akan ditetapkan harus bereaksi lengkap dengan reagensia dalam keseimbangan stoikiometrik atau ekuivalen.
Reaksi harus praktis berlangsung dalam sekejap dan pada beberapa keadaan, penambahan suatu katalis akan menaikkan kecepatan reaksi itu.
Harus ada perubahan yang menyolok dalam energi bebas, yang menimbulkan perubahan dalam beberapa sifat fisika atau kimia larutan pada titik ekuivalen.
Harus tersedia suatu indikator, yang oleh perubahan sifat-sifat fisika (warna atau pembentukan endapan), harus dengan tajam menetapkan titik akhir titrasi.
(Basset, 1999)
Metode titrasi lazimnya dapat dipakai untuk ketelitian yang tinggi (1 bagian dalam 1000, misalnya ketelitian dalam penimbangan yang biasanya adalah 0,1-0,2 mg). Metode-metode ini memerlukan peralatan yang lebih sederhana, dan umumnya cepat dikerjakan, pemisahan yang menjemukkan dan sukar, sering dapat dihindari. Instrumen yang diperlukan untuk analisis titrimetri, (1) bejana-bejana pengukur yang dikalibrasi, termasuk buret, pipet, dan labu volumetri, (2) zat-zat dengan kemurnian yang diketahui, untuk penyiapan larutan-larutan standar, (3) indikator visual untuk mendeteksi lengkapnya reaksi (Basset, 1999).

2.4. Penggolongan Reaksi
Reaksi yang digunakan dalam analisis titrimetri dapat dibagi dalam dua golongan utama:
Reaksi dalam yang mana tak terjadi perubahan keadaan oksidasi, reaksi ini bergantung pada bersenyawanya ion-ion.
Reaksi osidasi reduksi yang melibatkan suatu keadaan oksidasi atau dengan kata lain pemindahan elektron.
Kedua tipe reaksi ini dibagi menjadi empat golongan utama:
Reaksi penetralan, atau asidimetri dan alkalimetri. Reaksi ini melibatkan titrasi basa bebas, atau basa yang terbentuk karena hidrolisis garam yang berasal dari asam lemah, dengan suatu asam standar (asidimetri), dan titrasi asam bebas, atau asam yang terbentuk dari hidrolisis garam yang berasal dari basa lemah, dengan suatu basa standar (alkalimetri). Reaksi-reaksi ini melibatkan bersenyawanya ion hydrogen dan ion hidroksida untuk membentuk air.
Reasi pembentukan kompleks. Reaksi ini bergantung pada bersenyawanya ion-ion, yang bukan ion hydrogen atau ion hidroksida, untuk membentuk suatu ion atau senyawa yang dapat larut dan sedikit terdisosiasi, seperti pada titrasi larutan suatu saianida dengan perak nitrat atau titrasi ion klorida dengan larutan merkurium (II) nitrat.
Reaksi pengendapan. Reaksi bergantung pada bersenyawanya ion-ion untuk membentuk sebuah endapan sederhana seperti pada ion perak dengan suatu larutan klorida. Tak terjadi perubahan keadaan oksidasi.
Reaksi oksidasi-reduksi. Reaksi yang melibatkan perubahan bilangan oksidasi atau pemindahan elektron antara zat-zat yang bereaksi. Larutan standarnya adalah zat pengoksid ataupun zat pereduksi. Zat pengoksid yang utama adalah kalium permanganat, kalium dikromat, serium (IV) sulfat, iod, kalium iodat dan kalium bromat. Zat pereduksi yang sering digunakan adalah senyawa besi (II) dan timah (II), natrium tiosulfat, arsen (III) oksida, merkurium (I) nitrat, vanadium (II) klorida atau sulfat, kromium (II) klorida atu sulfat, dan titanium (III) klorida atau sulfa.
(Basset, 1994)

2.5. Larutan Standar atau Larutan Baku
Suatu larutan standar adalah larutan yang mengandung reagensia dengan bobot yang diketahui dalam suatu volume tertentu larutan. Konsentrasi dinyatakan dalam molaritas (yaitu, jumlah mol per liter) dan normalitas (yaitu jumlah ekuivalen per liter) (Basset, 1994).
Larutan baku primer berfungsi untuk membakukan atau untuk memastikan konsentrasi larutan tertentu. Larutan baku sekunder merupakan larutan yang kebakuannya (kepastian molaritasnya) ditetapkan langsung terhadap larutan baku primer. larutan tersebut yang bersifat stabil dapat digunakan untuk menetapkan konsentrasi larutan lain atau kadar suatu cuplikan (Mulyono, 2006).
Zat baku standar primer harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Zat harus mudah diperoleh, mudah dimurnikan, mudah dikeringkan (sebaiknya pada 〖110〗^0-〖120〗^0C).
Zat tak boleh higroskopis, tak pula dioksidasi oleh udara, atau dipengaruhi oleh karbon dioksida.
Jumlah total zat-zat pengotor, umumnya tak boleh melebihi 0,01-0,02%.
Zat harus mempunyai ekuivalen yang tinggi, sehingga sesatan kesetimbangan dapat diabaikan.
Zat harus mudah larut pada kondisi-kondisi dalam mana ia digunakan.
Reaksi dengan larutan standar itu harus stoikiometri dan praktis sekejap.
(Basset, 1994)

2.6. Titrasi Redoks
Titrasi-titrasi redoks berdasarkan pada perpindahan elektron antara titran dengan analit. Jenis titrasi ini biasanya menggunakan potensiometri untuk mendeteksi titik akhir, meskipun demikian penggunaan indikator yang dapat berubah warnanya dengan adanya kelebihan titran juga sering digunakan (Rohman, 2007).
Istilah oksidasi mengacu pada setiap perubahan kimia dimana terjadi kenaikan bilangan oksidasi. Berarti proses oksidasi disertai dengan hilangnya elektron sedangkan reduksi digunakan untuk setiap penurunan bilangan oksidasi. Berarti proses oksidasi disertai dengan hilangnya elektron sedangkan reduksi memperoleh elektron. Oksidator adalah senyawa dimana atom yang terkandung mengalami penurunan bilangan oksidasi. Sebaliknya reduktor, atom yang terkandung mengalami kenaikan bilangan oksidasi. Oksidasi-reduksi harus selalu berlangsung bersama dan saling mengkompensasi satu sama lain. Istilah oksidator-reduktor mengacu kepada suatu senyawa, tidak kepada atomnya saja. Jika suatu reagen berperan baik sebagai reduktor dan oksidator, maka dikatakan zat tersebut mengalami autooksidasi atau disproporsionasi (Khopkar, 2003).
Titrasi yang melibatkan iodium dapat dilakukan dengan dua cara yaitu titrasi langsung (iodimetri) dan titrasi tidak langsung (iodometri) (Rohman, 2007). Metode titrasi iodium langsung (iodimetri) mengacu kepada titrasi dengan suatu larutan iod standar. Metode titrasi iodium tak langsung (iodometri) adalah berkenaan dengan titrasi dari iod yang dibebaskan dalam reaksi kimia (Bassett, 1994).

Titrasi Iodometri
Iodometri merupakan titrasi tidak langsung dan digunakan untuk menetapkan senyawa-senyawa yang mempunyai potensial oksidasi yang lebih besar daripada sistem iodium iodida atau senyawa-senyawa yang bersifat oksidator (Rohman, 2007).
Larutan standar yang sering digunakan dalam titrasi iodometri adalah natrium thiosulfat. Garam ini biasanya berbentuk sebagai pentahidrat Na2S2O3.5H2O. Larutan natrium thiosulfat tidak stabil untuk waktu yang lama (Day & Underwood, 1981). Larutan tiosulfat distandarisasi terlebih dahulu terhadap Kalium bikromat (K2Cr2O7). Sampel pada titrasi iodometri bersifat oksidator yang direduksi dengan kalium iodida berlebihan dan akan menghasilkan iodium yang selanjutnya dititrasi dengan larutan baku natrium tiosulfat. Banyaknya volume natrium tiosulfat yang digunakan sebagai titran setara dengan iodium yang dihasilkan dan setara dengan banyaknya sampel (Rohman, 2007).
Suatu larutan dari iod dalam larutan iodida, berwarna kuning sampai coklat kuat. Satu tetes larutan iod 0,1 N menimbulkan warna kuning pucat yang terlihat pada 100 cm3 air, sehingga iod dapat berfungsi sebagai indikator sendiri, tetapi pada titrasi iodometri biasanya menggunakan penambahan indikator kanji/amilum. Iodida pada konsentrasi <10-5 M dapat dengan mudah ditekan oleh amilum. Sensitivitas warnanya tergantung pada pelarut yang digunakan. Kompleks iodium-amilum mempunyai kelarutan kecil dalam air sehingga biasanya indikator kanji ditambahkan pada titik akhir reaksi (Khopkar, 2003). Kanji tidak boleh ditambahkan sebelum tepat titik akhir dicapai, karena pada faktanya warna iod yang memudar merupakan tanda mendekati titik akhir titrasi, tetapi jika kanji ditambahkan ketika konsentrasi iod tinggi, sedikit iod mungkin akan terabsorpsi ke dalam bahan pada titik akhir sekalipun. Kanji bereaksi dengan iod, dengan adanya iodida, membentuk suatu kompleks yang berwarna biru kuat, yang akan terlihat pada konsentrasi-konsentrasi iod sangat rendah. Titik akhir titrasi akan dicapai setelah penambahan larutan natrium tiosulfat, yaitu apabila larutan sampel mulai menjadi tidak berwarna (Basset, 1994). Keunggulan indikator kanji adalah: Harga murah. Mudah didapat. Mudah dibuat. Keburukan-keburukan indikator kanji adalah sebagai berikut: Bersifat tak dapat larut dalam air dingin. Ketidak-stabilan suspensinya dalam air. Dengan iod memberi suatu kompleks yang tak dapat larut dalam air. Kadang-kadang terdapat titik akhir yang hanyut yang menyolok bila larutan encer. Dua sumber sesatan yang penting dalam titrasi yang melibatkan iod adalah kehilangan iod yang disebakan oleh sifatnya yang mudah menguapmya dan larutan Iodida yang asam dioksidasi oleh oksigen dari udara (Basset, 1994). BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Desain Penelitian Jenis penelitian bersifat eksperimental untuk mengetahui kadar povidon iodine dari sediaan obat luka cair dengan metode iodometri. 3.2. Waktu dan Tempat 3.2.1. Waktu Penelitian ini direncanakan akan dilakukan pada bulan Maret 2012. 3.2.2. Tempat Penelitian ini direncanakan akan dilakukan di Laboratorium Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Aceh. 3.3. Alat dan Bahan 3.3.1. Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah corong, beaker glass, gelas arloji, timbangan digital, gelas ukur, labu takar, labu erlenmeyer, pipet tetes, pipet volume, ball pipet, buret, batang pengaduk, spatula, statif, dan klem buret. 3.3.2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah larutan povidon iodine, aquadest, natrium tiosulfat, natrium bikarbonat, kalium bikromat, kalium iodida, asam klorida, dan larutan kanji. 3.4 Cara Kerja Penelitian Pembuatan Reagensia Pembuatan air bebas karbondioksida 1000 mL. Dimasukkan aquadest sebanyak 1000 mL ke dalam labu erlenmeyer. Dipanaskan sampai mendidih, kemudian tutup labu erlenmeyer dengan kapas. Dibiarkam mendidih selama 15 menit. Didiamkan sampai dingin. (Depkes, 1979) Pembuatan larutan natrium tiosulfat 0,1 N 1000 mL Ditimbang 26 g natrium tiosulfat P. Dicampurkan dengan 200 mg natrium bikarbonat. Dilarutkan dalam air bebas karbondioksida sampai 1000 mL. Dikocok sampai larut. (Depkes, 1979) Pembuatan larutan kanji P 100 mL Ditimbang 500 mg pati P. Digerus dengan 5 mL air sampai larut. Ditambahkan dengan air sedikit demi sedikit hingga 100 mL sambil terus diaduk sampai larut. Dididihkan selama beberapa menit. Didiamkan sampai dingin. Disaring. (Depkes, 1979) 3.4.2 Pembakuan larutan baku natrium tiosulfat 0,1 N Ditimbang seksama 210 mg kalium bikromat P yang sebelumnya telah dikeringkan pada suhu 〖120〗^0C selama 4 jam. Dilarutkan dalam 100 mL air dalam labu erlenmeyer dan ditutup dengan plastik serta dikocok sampai larut. Ditambahkan dengan 3 g kalium iodida P, dikocok sampai larut. Ditambahkan dengan 2 g natrium bikarbonat P, dikocok sampai larut. Ditambahkan dengan 5 mL asam klorida P, dikocok sampai larut. Labu ditutup kembali, didiamkan selama 10 menit. Dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0,1 N sampai terbentuk warna kuning tipis. Ditambahkan indikator kanji LP. Titrasi dilanjutkan sampai perubahan warna dari warna biru menjadi bening. Hitung normalitas larutan: 1 mL natrium tiosulfat 0,1 N setara dengan 4,903 mg kalium bikromat Rumus: Normalitas = (Penimbangan × Normalitas sebenarnya)/(Kesetaraan ×Volume titrasi) (Depkes, 1979) Penetapan kadar larutan povidon iodine Dipipet sebanyak 5 mL larutan sampel, dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Ditambahkan 200 mL air, diaduk sampai larut. Dititrasi dengan natrium tiosulfat 0,1 N sampai terbentuk warna kuning tipis. Ditambahkan indikator kanji P sebanyak 3 mL pada waktu mendekati titik akhir. Titrasi kembali dengan natrium tiosulfat hingga terjadi perubahan warna dari warna biru menjadi bening. Hitung penetapan kadar: 1 mL natrium tiosulfat 0,1 N setara dengan 12,69 mg I Rumus: Kadar = (Volume ×Normalitas ×Kesetaraan)/(Penimbangan ×Konsentrasi) x 100% (Depkes, 1979) Analisa Data Analisa data menggunakan uji laboratorium yang dilakukan dengan 3 kali pengulangan, agar memperoleh hasil yang akurat. Penyajian Data Data diolah manual disajikan secara tabular dan tekstular. Tabel 1. Data hasil Pembakuan No. Penimbangan Volume Normalitas Normalitas Rata-rata Tabel 2. Data hasil penetapan kadar No. Sampel Pengulangan Jumlah Rata-rata 1 2 3 1. Betadine 2. Povidin solution 3. Povidon iodine Generik